Gunjingan dan Seorang yang Bernama Ibu

Bersemilah beberapa kenangan masa lalu. Kau tau, seribu musuh itu mencaci abis-abisan seorang anak hanya karena ia miskin dan bekerja. Anak itu bekerja menyudahi kemasan plastik yang berisi kue. Kue yang tersusun rapi di atas rak petak. Ia akan membawanya ke warung-warung yang ada di ujung jalan kota. Berapapun terjualnya, itulah yang ia terima. Kau tau, iya bekerja tak sempat meminta jerihnya. Kadang ia habiskan jerih dari kerjanya itu dengan melihat mamanya tersenyum. Hanya senyum. Romantisnya anak itu. Ia melihat mamanya berdo’a di tengah malam. Sampai-sampai, iya sering terkejut bangun. Kau tau, Ia belum tahu apa-apa waktu itu. Entah apa yang diucapkan oleh mamanya dalam sujud dengan tangan menadah. Tak dipaksakannya bertanya karena mata tak bisa menerima larut malam saat itu. Ia lanjutkan tidur.

Seperti hari biasanya. Masih dengan keadaannya, ia berfikir dan mulai risih dengan mulut itu. Sangat risih. Saat digunjing oleh orang yang melihatnya, ia mulai tergesa-gesa melangkahkan kakinya. Ia bukan malu, ia tak mau lebih sakit lagi dengan mulut-mulut itu. Betapa halus dan mematikan pukulan itu, ia bisa menembus kulit melewati daging dan tak terhadang oleh tulang. Langsung tertancap di hati. Beban ini, membuatnya mulai berlari menahan tangis dengan tangannya. ia tak mengadu. Jika mengadu mamanya bisa lebih sedih darinya, pikirnya.

Di sebuah rumah kosong ia membaringkan badannya. Rumah yang tak berpenghuni, warna dindingnya sudah pudar keabu-abuan, atapnya bolong dan cahaya masuk dari sana menyoroti tubuhnya. Ia bersembunyi dari caci itu, hanya untuk sementara meredam sayatan luka di hati. Tersedu-sedu, berkaca matanya memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut orang itu.

Semakin sore, waktupun memaksanya menelan mentah-mentah perkara tadi. Ia melongo ketika sampai di rumah. Duduk di dapur, sebelah tungku batu, buatan mamanya. Lagi-lagi, ia datang bagai tamu tak diundang. Kata dari mulut itu. Kau tahu, akhirnya Ia memberanikan diri. Tersampaikan luapan hatinya pada mamanya.

Hingga akhirnya, mamanya melihatnya dalam, dengan tatapan tajam. Aku tak yakin mamanya akan memukulnya atau memarahinya. Benar. Wanita itu bangkit, dikecupnya kening anaknya dan dipeluknya erat. Seperti ikat mati. Kau tahu, itu adalah peluk mama yang hanya tak ingin anaknya menjadi orang lain. Dibisikkannya perlahan. Seperti dieja-tulis dan distempel dalam jiwa anaknya.

“Kau anakku dan kau bebas menyampaikan apapun padaku. Aku bertanggung jawab atas segala jejak hidupmu. Betapa bahagia hati mama, nak. Jika kau mau berbagi kisahmu. Mama tak mungkin menanyakan itu, karena kau pasti akan menjawab hanya dengan senyum dan kata yang penuh semangat darimu. Sekiranya benar apa yang dikatakan mereka. Katakanlah benar. Tapi jika itu salah ubahlah menjadi suatu kebenaran. Barangkali kau belum memahami lebih dalam. Engkau bekerja untuk hidupmu dan untuk orang lain yaitu aku, mamamu sendiri. Engkau mulia, nak. Lebih dari mereka yang tak bekerja. Kau punya cita-citakan. Kejarlah apa keinginanmu. Hanya itu pegangan hidupku, mamamu ini. Membantu sebisa mungkin mewujudkannya.”

Betapa bisunya ia...... anak itu!

Komentar

Postingan Populer