Keseruan Peta Kaum Muda Indonesia (PKMI) 2017 di Padang Bersama Tempo Institute

Dari awal saya coba membayangkan bagaimana gambaran acara Peta Kaum Muda Indonesia (PKMI) 2017 yang diadakan oleh Tempo Institute. Hal ini dari awal membuat saya penasaran. Sebelumnya info PKMI tersebut saya dapatkan dari grup WhatsApp yang heboh membahas dan menanyakan bagaimana cara pendaftarannya. Sedangkan saya coba menahan diri untuk lebih dulu mencari informasi yang berkaitan di Internet, alhasil sedikit sekali informasi yang saya dapatkan mengenai PKMI ini. Dalam media sosialnya Tempo Institute, saya coba mengulik postingan-postingan yang berkaitan dengan PKMI 2017, sehingga saya sampai pada postingan yang bertuliskan bahwa acara PKMI ini berbeda sekali dengan seminar. Pertanyaan baru pun muncul di kepala saya, “berbedanya bagaimana?” Kembali saya cari postingan dengan tagar #PKMI, hasilnya pun sama, tidak banyak, malah yang keluar aneh-aneh (kemungkinan cara riset saya yang salah atau bagaimana *hahaha).

Jadi informasi mengenai PKMI ini akan coba saya rangkum mengenai riset hemat saya. PKMI atau Peta Kaum Muda Indonesia sudah berlangsung selama tiga tahun pada 2017 ini. PKMI 2017 ini diselenggarakan oleh Tempo Institute dan Friedrich Ebert Stiftung (FES) dan didukung oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Ada beberapa kota yang pernah disambangi oleh Tempo Institute; Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, Denpasar, Maumere, dan Kupang. Pada tahun 2017 ini Tempo Institute akan bergerak ke dua kota yaitu ada Pontianak dan Padang. Sesuai dengan temanya ‘Merekam Gagasan, Kegelisahan, dan Pemikiran Anak Indonesia’ tujuan kegiatan ini ingin mengetahui permasalahan yang dipikirkan oleh generasi muda yang akan menjadi sosok untuk menakhodai Indonesia pada tahun 2045, 100 tahun indonesia.

Lanjut, menurut saya dengan pembahasan tema seperti itu akan sangat menarik dan saya juga berpegang dari riset hemat saya tadi “bahwasannya acara ini berbeda dengan seminar lainnya.” Sehingga saya putuskan untuk mendaftarkan diri. Saya langsung buka situsnya melalui smartphone dan lagi-lagi saya dikagetkan bahwa kuota kegiatan hanya untuk 200 orang saja. Pertimbangan pun banyak di kepala saya, acara yang bagus ini pasti banyak pendaftarnya artinya akan ada seleksi, walaupun begitu saya tetap mengisi formulir sebaik mungkin terutama pada kolom motivasi dan harapan mengikuti acara PKMI ini. Beberapa hari menunggu, jreng-jreng, akhirnya nama saya ada di daftar peserta yang lolos mengikuti PKMI 2017 di Padang pada tanggal 11-12 September nanti. Saya tidak terguncang sama sekali, senang sudah pasti, tak sabar apalagi.

Senin, 11 September 2017 pertama kalinya saya mengikuti acara yang diadakan oleh Tempo. Senang bukan main karena Tempo adalah salah satu media favorit saya (*angkat topi). PKMI 2017 di kota Padang ini diadakan di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang (UNP). Saat menuju ke tempat kegiatan saya sempat salah ruang, karena lokasi tempat berada di lantai 4, lantai tertinggi gedung tersebut. Setelah sampai di lokasi saya bertemu wajah-wajah yang tidak asing, teman-teman yang pernah satu organisasi maupun yang saat ini masih satu organisasi dengan saya. Beberapa teman baru juga saya dapatkan di acara tersebut, memang kurang pas kalau ikut acara seperti ini hanya ilmu saja yang dicari. Antri pintu masuk pun semakin panjang saya menunggu sekitar 10 menit untuk dapat masuk setelah mengisi administrasi dan saya juga mendapatkan sebuah tiket untuk hari kedua yang bisa ditukarkan dengan baju.

“Wow, acara tempo”, ucap saya dalam hati. Saya bisa rasakan kegiatan ini pasti akan menarik ke depannya. Di dalam, keadaan ruangan disusun dengan kursi berjejer berbentuk huruf U. Di bagian panggung terpampang baliho besar PKMI 2017 dan ada beberapa spanduk berdiri di sekeliling ruangan dengan potret tokoh-tokoh asal Minang dengan cerita singkatnya masing-masing. Saya pun memilih tempat duduk pada bagian kanan. Di bagian kursi saya duduk ada beberapa teman dari pers mahasiswa yang saya kenal dan yang lainnya saya belum tahu. Saat acara mulai berlangsung beberapa kata sambutan disampaikan dari Ibu Mardiyah Chamim (Direktur Eksekutif Tempo Institute), Perwakilan dari FES, dan Wakil Rektor III UNP yang sekaligus membuka acara PKMI 2017 di Padang ini.

Kata-kata yang saya ingat dari Ibu Mardiyah dalam sambutannya adalah beliau mengajak kita terutama muda-mudi Indonesia untuk mempersiapkan diri untuk 100 tahun Indonesia secara sungguh-sungguh. Memetakan peta anak muda mengenai pemikiran dan Indonesia ke depan merupakan cita-cita kita bersama, untuk mengerjakannya secara bersama tentunya hal ini berangkat dari keresahan dan kegelisahan kita saat ini tentang Indonesia.

Di hari pertama kami semua (peserta) disuguhi dengan workshop menulis oleh para redaktur tempo, ada pembekalan menulis yang diberikan secara umum salah satunya tentang tulisan (berita) itu sendiri yaitu ada tulisan yang penting dan menarik, ada yang penting tapi tidak menarik, ada yang tidak penting tapi menarik, dan ada yang tidak penting dan tidak menarik. Sebagai contoh berita tentang pajak, berita ini penting namun tidak menarik (kebanyakan perspektif masyarakat Indonesia). Saya mungkin pernah belajar tentang ini, namun saya bersyukur diingatkan lagi waktu acara PKMI 2017 ini. Banyak lagi hal lainnya berbicara tentang tema berita, angle, dan outline. Saya sepakat dengan salah satu redaktur tempo (saya lupa namanya) tentang pemilihan angle, dalam pemilihan angel unik, usahakan memilih angle yang tidak pernah terpikirkan oleh wartawan lainnya *cheers.

Setelah belajar secara umum tadi, selanjutnya kami dibagi menjadi beberapa bagian kelompok yang akan didampingi oleh mentor dari tempo. Dalam kelompok inilah kami harus merefleksikan lagi materi yang telah diberi, sembari belajar untuk praktik langsung. Beruntung saya termasuk kelompok yang dimentori Ibu Mardiyah Chamim, beliau coba membahas lebih jauh dan rinci mengenai tulisan feature (kisah yang bercerita). Saat itu beliau membahas angle dan outline begitu pun struktur tulisan tersebut. Sembari berbicara mengenai teori beliau juga banyak cerita dan menganjurkan untuk pergi keluar (jalan-jalan) dan tersesat, maksudnya, get lost untuk menemukan keunikkan dan pelajaran lainnya sehingga kita dapat merasakan dan bisa menuliskannya dengan nyaman. Hasilnya luar biasa untuk awal, saya juga ingin bilang bahwa kelompok lain dengan mentornya juga sangat bersemangat, terbukti betapa heboh dan sering saya mendengar tepuk tangan dari kelompok lain. Berikutnya kami ditantang lagi, dan dibagi lagi menjadi kelompok kecil oleh mentor kami untuk membuat sebuah tulisan. Saat itu saya termasuk bagian dari kelompok II, tim saya bersama berkompromi dan sepakat memilih tema UU ITE No. 11 Tahun 2008 yang difokuskan tentang review 9 tahun korban-korban dari undang-undang ini.

Setelah selesai membuat tulisan, peserta kembali dikumpulkan menjadi satu. Dan hasil tulisan dari tim saya tadi dikumpulkan ke mentor. Tulisan ini nanti akan diseleksi oleh mentor dan kembali dilombakan melawan kelompok yang lain. Saya pikir awalnya tim kami tidak akan lolos seleksi tahap pertama (mentor kami) karena banyak hal yang masih belum sampai menurut saya dalam tulisan itu. Apa boleh buat, saya dan tim tetap optimis saja. Saat panitia sibuk menempel tulisan yang lolos di papan tulis di depan peserta. Saya dan tim coba santai dan kadang-kadang bercanda karena tak sabar menunggu pengumumannya. Sebelum diumumkan tulisan terpilih, setiap mentor wajib memberikan alasan mengapa tulisan tersebut dipilih, dan mentor yang lain boleh mengomentari tulisan dari kelompok lain. Saat MC mulai mengumumkan tulisan yang lolos seleksi kami siap memasang telinga dan hati yang sabar. Tapi ternyata, ajaib, tulisan tim saya dipilih menjadi perwakilan dari kelompok II artinya tulisan kami akan menghadapi tulisan perwakilan kelompok yang lain. Alasan mentor kami memilih tulisan tim saya karena angle-nya, pemilihan lead (pembukaan tulisan) lalu isinya yang jelas dan runut. Terimakasih, Bunda Mardiyah Chamim. *hihihi

Belum bisa senang, soalnya ada enam kelompok lagi yang harus tim saya kalahkan untuk jadi pemenang. Singkat cerita tulisan dari tim saya masuk ke final melawan tulisan dari kelompok lain dengan skor 4-4. Penilaian terakhir ini poinnya hanya satu, jadi penentuan sekali. Setelah diadakan pemberian poin, akhirnya tim saya kalah dengan hasil akhir skor 4-5. Sedih juga, tapi mau apa lagi keputusan juri tidak bisa diganggu gugat, cuma bisa dikomentari. Awalnya saya kira juara 2 tidak dapat buku, hanya juara 1 saja yang dapat buku, ternyata tidak, saya dan tim juga mendapatkan sebuah buku. Katanya karena sengit, ya, bisa diterima, bagi saya sih yang penting bukunya *hahaha.

Hari pertama ini merupakan keseruan tersendiri bagi saya, banyak cerita lain yang sudah dibagi oleh mentor-mentor lain, saya rasa cukup penuh otak saya dengan ilmu hari ini. Selanjutnya saya perlu memilahnya dan mencernanya dengan baik saja. Supaya benar-benar terkristalisasi di otak saya. Akhir acara kami semua berfoto selfie dan wefie bersama. Dan beberapa redaktur tempo yang hari ini sudah menemani kami, menyampaikan salam perpisahannya karena tidak bisa hadir besok dan harus berangkat ke Jakarta lagi. Begitulah kira-kira hari pertama saya dan kawan-kawan yang lain di Peta Kaum Muda Indonesia 2017 Padang.

Di hari kedua, Selasa, 12 September 2017 adalah hari terakhir PKMI 2017 di Padang berlangsung. Saya masih belum tahu seperti apa gambaran pastinya hari kedua ini walaupun saya sudah tahu hari kedua ini judulnya akan ada diskusi terbuka, namun saya tidak tahu gambaran spesifiknya, diskusi terbuka ala Tempo Institute. Penasaran? memang, karena menurut riset hemat saya itu, foto-foto dari PKMI 2017 di Pontianak, ada foto yang memperlihatkan kelompok orang yang memegang seperti atribut kampanye yang bertuliskan macam-macam tema. Sulit membayangkan suasana hari kedua ini, saya pun mengikuti hari kedua ini dengan semangat, tentunya lebih semangat dari hari pertama. Di hari kedua ini saya sudah bisa memakai baju PKMI 2017 dari tiket yang saya tukarkan di hari pertama. Saya dapat yang warna putih dengan kutipan Tan Malaka, Bapak Konseptor Republik Indonesia, “Bagaimanapun cepatnya kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga.” Selain dapat baju, saya juga dapat tiket lagi untuk nanti ditukarkan dengan tas jinjing bewarna merah. Katanya sih isinya ada 7-11 buku, ini bocoran yang saya dapatkan di hari pertama dari si MC (maaf om, saya lupa namanya). Hmm, bukan main dalam hati saya senangnya, bakalan bawa buku banyak siap acara ini.

Hari kedua PKMI pun berlangsung, makin seru, semua peserta diberi permainan baru lagi seperti ice breaking, salah satu bagian favorit saya juga di PKMI ini, luar biasa, tepuk Filipina namanya atau nama lainnya D’beat kalau tidak salah. MC-nya memang luar biasa, powerfull sekali, coba saja kalau hari itu disuruh buat apa yang paling dikagumi dari PKMI ini, saya sudah pasti memasukkan si MC ke salah satu daftar kekaguman saya. Balik ke kegiatan, kami diberi sebuah permainan aneh lagi, yang saya namakan ‘metamorfosa absurd’ perubahan dari katak ke kura-kura, lalu ke kupu-kupu, lalu ke anjing, dan terakhir ke manusia seutuhnya. Saya yakin Darwin juga bakalan geleng-geleng kalau tahu permainan ini. Aturan mainnya cukup mudah, awalnya sudah ditentukan dulu titik-titik kumpul kelompok dari masing-masing makhluk tadi, lalu untuk berubah atau bermetamorfosa kita harus menang suit dari sesama jenis untuk berpindah ke suatu kelompok, tapi saat sampai di anjing ketika kita kalah suit, maka kita harus kembali ke metamorfosa awal lagi yaitu katak. Bagian tersulit permainan ini bagi saya adalah menirukan gerak dan suara menurut jenis makhluk apa kita saat itu, soalnya saya bukan aktor, kan tidak lucu kalau suara katak diganti suara jangkrik.

Sehabis melakukan permainan, kami diberi suguhan materi baru mengenai Indonesia dan generasi milenial oleh Ibu Jaleswari P dari Staf Kepresidenan Indonesia. Beliau banyak cerita tentang berbagai gambaran dan aktivitas generasi milenial begitu pun dengan keadaan Indonesia sendiri. Salah satu perbincangannya yang banyak, saya tertarik pada satu topik tentang kearifan lokal yang beliau sampaikan, bahwa kondisi masyarakat tentang kearifan lokal tidak bisa direvitalisasi dan kearifan lokal seolah menjadi deffense masyarakat. Saya ingin bertanya pada saat itu, namun sayangnya waktu tidak memadai, dan bodohnya lagi saya ketika diberikan kertas oleh panitia untuk memuat pertanyaan yang nanti akan dijawab oleh beliau tidak saya tulis, malah saya lipat-lipat. Aduh, entah sedang memikirkan apa saya pada waktu itu. Tapi, memang saya ingin bertanya tentang kearifan lokal seperti apa yang baik itu dan bagaimana seharusnya supaya kearifan lokal yang ada saat ini benar-benar fungsinya itu berjalan sesuai perkembangannya tanpa meninggalkan maknanya itu sendiri? Kalau memang direvitalisasi, misalnya seperti apa? Sekiranya beliau membaca tulisan ini. Berdoa saja, semoga beliau bisa sampai di tulisan ini walaupun harus mengumpulkan beberapa bola dragonball.

Balik ke kegiatan, selanjutnya saya pun kembali sadar mengenai atribut yang pernah saya lihat di foto hasil riset hemat saya kemarin. Nah, ini yang saya tunggu dan ingin saya lihat seperti apa kegiatannya, masih dalam hati saya ngomongnya. Di kegiatan satu ini, saya banyak sekali melihat benda seperti rambu jalan sudah disiapkan oleh panitia. Si om MC pun menjelaskan seperti apa aturan mainnya, jadi benda kayak rambu jalan tadi itu diletakkan di tengah-tengah peserta, ditumpukan di sana, bentuk duduk peserta yang mirip huruf U dan rambu tadi ditaruh di tengahnya. Kami disuruh memikirkan permasalahan atau keresahan yang ada di benak kami, lalu kalau ada yang mau berbagi, maka silakan diambil rambunya dan dituliskan. Tak butuh waktu lama, semua rambu langsung habis, ada yang dapat dan tidak, semua yang mendapatkan rambu langsung menuliskan isi pemikiran atau keresahannya. Ngomong-ngomong saya termasuk yang tidak dapat, kalau saudara sekalian ingin tahu.

Setelah dituliskan mereka disuruh berbaris dan mempropagandakan pemikirannya itu ke peserta lain guna mencari massanya, ibaratnya seperti itu. Banyak sekali tema yang diangkat mulai dari yang mainstream sampai yang anti-mainstream, misalnya kayak tema pendidikan, literasi, budaya Minangkabau, hingga perokok bukan penjahat, bisnis ‘lendir’, dipaksa wisuda dan lainnya yang paling gigit dan buat gelak tawa peserta lain. Saya duduk jadi massa yang aturannya memilih tema mana yang saya minati. Setelah semuanya selesai mempropagandakan temanya masing-masing, mereka diberikan titik-titik tempat di dalam ruangan, yang mana titik itu adalah tempat masing-masing promotor tersebut mendiskusikan temanya tadi dengan masa yang tertarik dengan temanya. Hasil diskusi boleh saja hanya sekedar memetakan permasalahan sampai pada solusi nantinya yang dicatat di kertas karton. Mengenai hasil diskusi ini nantinya akan dipajang dan diberikan penilaian oleh setiap peserta dengan memberikan kokardenya ke kelompok diskusi yang lain dan tidak boleh kelompok diskusinya sendiri.

Saya pun mulai berkemas untuk berkeliling mencari tempat diskusi yang sesuai dengan minat saya. Diskusi ini dibagi menjadi dua putaran, saat diskusi nanti juga akan ada para mentor yang akan menemani. Pada putaran pertama saya memilih tema diskusi yang saya sudah tahu sedikit banyaknya yaitu tentang literasi. Walaupun saya tahu dengan tema ini, saya seperti merasa jauh ketinggalan dengan teman-teman diskusi saya yang lain, banyak pemahaman baru yang menjadi tambahan ilmu bagi saya. Begitu juga pada putaran kedua mengenai penataan pasar, di sini sebenarnya saya dipaksa teman untuk bergabung karena teman saya ini takut tidak ada yang tertarik dengan temanya. Mungkin saya bisa menjadi daya tarik, menurutnya, tapi memang benar, sedikit yang tertarik, bukan karena saya loh. Apa boleh buat kami tetap melanjutkan diskusinya, tapi rata-rata dari peserta diskusi memang benar-benar meminati tema. Mereka banyak bercerita tentang keadaan pasar di daerahnya masing-masing mulai dari fasilitasnya, pengelolaan dan pembangunannya, detail sekali. Saya dapat istilah baru di putaran kedua ini, “jangan menilai kelompok dari jumlahnya, tapi isi kepalanya.”

Penilaian hasil diskusi banyak dibubuhi pertanyaan peserta dan penjelasan dari setiap promotor, mereka saling berdialog termasuk saya sendiri. Mungkin saja penilaian berlangsung awet kalau waktunya tidak dibatasi oleh panitia, banyak peserta yang menimbang-nimbang sebelum kokardenya diberikan. Sehabis semua peserta telah memberikan penilaian, kami kembali duduk, kali ini tata ruangannya berbeda berbentuk seperti ruang teater, semua kursi berjejer dan menghadap satu arah. Pengumuman hasil diskusi pun berlangsung, pemenangnya adalah yang mengangkat tema diskusi tentang sarjana back to desa, dan beberapa tema unik juga dipertimbangkan seperti bisnis lendir dan lainnya. Setelah selesai pengumuman setiap pemenang dan beberapa promotor yang temanya cukup bagus dan baik mendapatkan hadiah berupa buku. Pada acara PKMI 2017 ini banyak sekali buku yang digelontorkan oleh Tempo Institute dan FES, tidak hanya untuk pemenang tetapi bagi yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh MC juga.

Sampai pada akhir acara, PKMI 2017 Padang menghadirkan tokoh muda Bang Obi (lupa saya nama lengkapnya) beliau adalah salah satu inspirator atau penggerak bagi kaum muda dengan vespa pustakanya yang selalu nongkrong dan menjajakan buku-buku bacaan gratis di beberapa kawasan pinggiran kota Padang. Terutama di daerah Jembatan Sitinurbaya, Gunung Padang, dan sekitar Purus yang biasanya dilakukan 3 hari dalam seminggu, bergantian di tempat-tempat tersebut. Selain itu beliau memberikan beberapa cara agar anak-anak yang didatangi itu mau membaca. Berikut kata-kata yang saya kutip dari beliau, ”Dengan membawa kasih sayang, membawa kegembiraan kecil, menjadi anak kecil, bermain serius, dan mulai mengarahkan mereka untuk membaca sehingga tertarik dan menjadi hobi atau kebiasaan bagi mereka. Mengenai agar anak itu mau ikut terlibat awalnya kita coba dengan memberikan kue dan permen.” Beliau juga salah satu penggiat literasi dari Ruang Baca Tanah Ombak yang berada di Purus, Kota Padang. Ruang Baca ini adalah wadah bagi anak-anak untuk belajar dan mengembangkan potensi dirinya. Tidak hanya pelajaran di sekolah, di sana anak-anak juga diajarkan sastra dan seni.

Acara PKMI 2017 ini ditutup dengan menuliskan harapan mengenai pribadi kita masing-masing untuk ke depannya agar lebih baik lagi. Sekali lagi Ibu Mardiyah Chamim juga menyarankan anak muda untuk banyak-banyak piknik, kali ini kepada seluruh peserta. Sedangkan Ibu (saya lupa juga namanya) perwakilan FES membacakan sebuah catatan dari Najwa Shihab tentang mahasiswa. Dan beberapa momentum perpisahan tanda berakhir dalam acara ini diabadikan dengan foto bersama seluruh peserta bersama Tempo Institute, FES, dan panitia. Banyak hal yang memang dari awal memuaskan saya setelah dapat mengikuti acara Peta Kaum Muda Indonesia 2017 ini. Semoga acara seperti ini lebih banyak lagi ke depannya. Tak lupa juga kami seluruh peserta anteng-anteng pulang menukarkan tiket untuk mendapatkan tas jinjing warna merah bertuliskan PKMI 2017 yang tentu saja isi di dalamnya adalah buku-buku. Hadiah termanis dari Tempo Institute dan FES ini, saya rasa cukup menjadi oase bagi peserta setelah acara PKMI 2017 selesai. Semoga bermanfaat, waktunya membaca buku.

Ada hal terakhir yang saya lupa menuliskannya yaitu di acara PKMI 2017 ini, kami peserta juga diberikan waktu istirahat serta makan siang kok, dan cemilan kue-kue 2 kali sehari. Jadi, kalau ada acara PKMI 2018, 2019, 2020 dan seterusnya nanti, jangan lupa untuk ikut dan daftarkan diri. Acaranya bermanfaat sekali. Salam.

Komentar

Postingan Populer