Menikmati Kopi Kawa Selama Perjalanan

Sedikit menuai kritik menulis cerita ini. Sebenarnya. Kritik yang dimaksudkan adalah untuk diri sendiri (penulis). Tak seperti biasanya, kenapa? Dalam perjalanan kali ini, lebih akuratnya aku akan mencoba menyusun dan menceritakan kembali perjalananku bersama teman. Ini bukan jurnal perjalanan. Bukan. Hanya cerita biasanya. Karena beberapa hal aku sudah melanggar sebuah nilai yang menurutku itu sangat penting. Aku tak mencatat apapun selama perjalanan. Ini disebabkan oleh perjalanan yang sama sekali tak direncanakan. Pikiranku pun terbatas soal jejak dan detail perjalanan. Tapi aku akan mencoba menceritakannya kembali sesuai dengan apa yang ku ingat dan alami.

Keterbatasan ini adalah manfaatku dalam mengenang kembali. Jadi kurang lebih cerita ini sedikit sekali simpul dalam isinya. Merunut ceritanya seperti ini. Usai perkuliahan diliburkan. Rencana-rencana untuk mengisi waktu pun sempat dibuat dengan sangat-sangat hati-hati. Tak ingin nantinya ada yang menggaduh karena hal-hal pengacau tak diinginkan.

Hari itu Sabtu (23/01). Aku dan seorang teman, Ichsan namanya. Pergi mengendarai beberapa daerah di Sumatera Barat. Ia menceritakan padaku akan pergi (mengisi waktu luang) hari itu. Bulat saja. Aku pun ikut. Memang tak ada jadwal penting hari itu. Hal itu pun terlaksana dengan indah. Mungkin bisa di bilang tak begitu indah. Ada sebuah pengalaman seperti perjalanan emosi yang muncul tanpa sadar. Walaupun ada beberapa hal yang menjadi pengalaman pertama di sana (kota-kota perjalananku). Itu menarik dan pastinya akan aku ceritakan disini.

Pagi Sabtu itu, aku hubungi temanku itu, Ichsan. Melalui handphone ku. Soal keberangkatan. Waktu karet sepertinya adalah sarapan favorit pria. Karena kita sepakat untuk pergi jam 06.00 wib namun rahasia Tuhan selalu terungkap ketika perjalanan ingin dimulai. Beberapa kendala terjadi. Bensin motor yang mendadak habis, helm tak ada dan lainnya. Kendala ini bukan padaku, pada temanku. Ichsan. Ia yang ku kenal dari keikut sertaanku dalam sebuah organisasi kampus. Ya, ia lebih senior dariku. Sesepuhku di organisasi. Gelar dosen organisasi mungkin juga bisa disabetnya. Lupakan itu, kita balik kecerita.

Niat berjalan keluar kota pun, sepertinya tak ada. Tak selesai di sana, kami pun berusaha. Syukur, semuanya teratasi termasuk aku dapatkan sebuah helm dari teman. Penutup kepala itu, tak menutupi kepala sepenuhnya. Bahkan kaca untuk menyapu debu tak ada. Gamblang. Sangat tak menolong. Terlalu sederhana, memang kebetulan helm itu ku pinjam dari seorang teman yang hobby Vespa. Jadi pada umumnya itu memang ciri khas pengendara Vespa dengan helm seperti itu.  Saat meminjamkan pun iya meyakinkan ku untuk tidak memakai helm itu. Tak ada pilihan sebenarnya, karena waktu tak menunggu semua itu. Jadi, kuberikan helmku yang berkaca pada Ichsan dan aku memakai helm pinjaman tak berkaca itu. Lucu kelihatannya. Bukan karena tak ada alasan. Perihal itu, karena ia yang membawa motor. Takut terjadi apa-apa dengannya di jalan. Lalu, diboncenginya aku dibelakang. Dengan bekal do’a dan beberapa kebutuhan untuk perjalanan. Kami ‘ready’ berangkat.

Perjalanan pun dimulai (cihuy) dari Padang. Jam 09.00 wib kurang lebih. Jangan terkejut. Cerita demi cerita pun sambut-menyambut. Kadang tertawa dan diam menikmati masing-masing pandang kiri-kanan jalan. Kota dan beratus baris rumah, hutan, kebun, sawah, dan buruknya suasana kota kami lalui. Tak mudah berkendara jauh apalagi dengan motor. Aspal jalan yang berlubang dan tak bagus selalu menguji kehebatan Ichsan dalam berkendara. Insting pembalabnya seolah telah bersepakat dengannya untuk bekerja sama. Walau sekali-kali kami juga pernah compang-camping terjerembab karena lobang jalan yang tak kunjung akrab itu. Bahkan hampir jatuh. Predikat pembalab itu rasanya harus aku tambah amatir, tapi aku salut padanya.

Perjalanan dua orang ini. Aku dan Ichsan. Tujuan awal kami sepakat mempelopori perjalanan ini hanya untuk sekedar minum kopi. Kopi Kawa namanya. Konon kopi ini dibuat dengan bermodal daun kopi saja dan sudah ada sejak dulu zaman penjajahan Belanda. Tak tahu pasti rinci sejarah pastinya. Cuma itu yang ku ketahui. Dalam pikirku, warnanya mungkin kekuningan seperti teh. Penasaran rasanya akan seperti apa tapi masih ku tahan dalam hati, toh hari itu aku juga akan meminumnya nanti.

Perjalanan ini pun dihiasi beberapa peristiwa. Yang pertama disaat perjalanan menuju Padang Panjang. Terhenti kami sejenak karena ada yang lebih penting dibandingkan perjalan ini. Kami lapar. Sampai di pinggiran jalan kami menepi singgah di sebuah warung, kira-kira masih daerah Lubuk Alung. Kami isi perut dengan sarapan pagi yang tak seperti makanan di resto yang kebarat-baratan itu. Makan lontong. Lontong gulai. Masih sepi saat itu perjalanan. Sembari makan yang menarik kami lihat adalah orang gila berpakaian lusuh berjalan menunduk yang tak satu manusia pun tau tujuannya. Mendekat saja kerumah ia diusir. Malangnya. Orang gila yang di hakimi ini, kami lihat ada yang memegang buntalan karung bewarna putih. Ada juga yang tak berbaju. Dalam hatiku, “Huh, si pengelana sungguhan”. Bukan mengejek. Aku pernah melihat orang gila yang dari satu kota tiba-tiba ada di kota lain. Persis sama perawakannya. Entah bagaimana ia bisa berpergian jauh seperti itu. Maka dari itu aku simpulkan ia (orang gila) seorang pengelana, yang membedakannya hanya akal saja.

Selesai mengisi perut, perjalanan terasa ringan. Kadang kantuk juga memecah riuh jalan. Sudah seperti ular, siap makan inginnya diam dan tidur. Perjalanan tetap berlanjut. Aku tak tau Ichsan mengantuk atau tidak. Ia tetap tenang dan santai dengan pandangnya memandangi jalan. Berkonsentrasi dengan perjalanan ini atau seperti apa. Aku tak tahu. Kali ini kami benar-benar tenang. Mobil dan motor yang tak menyahut pun lalu lalang, ada yang searah dan berlawan arah dengan kami.

Pemandangan masih sawah, luas menghijau dan tak berbatas beton. Jauh disana kulihat bukit-bukit tertawa pada kami karena ketinggiannya. Tak aku hiraukan lagi bukit itu, setelah ku lihat ke arah jalan. Ada kejadian tabrakan. Mobil dan motor yang sama-sama melaju berusaha lebih unggul, akhirnya menepi juga. Hanya mobil yang menepi. Dan motor tadi yang menabraknya sudah jauh terlihat dari mobil itu. Lari si pengendara tak bertanggung jawab itu. Ku lihat ke arah mobil itu, kelihatannya hanya rusak pada spionnya saja yang di sebelah kanan. Pecah. Seperti tergantung-gantung kacanya. Bodinya masih mulus. Kami tak singgah hanya memelankan kencangnya motor. Tak merasa bersalah, kami pun teruskan perjalanan. Tentunya hati kami pun menjadi lebih waspada dibandingkan berangkat setelah makan tadi. Demi keselamatan. Kami berdua, dan si kuda besi yang kami kendarai.

Perjalanan tak berhenti begitu saja. Kopi pun akan dingin jika menunggu membaiknya suasana, lebih cepat meminumnya lebih baik. Kami terus mencairkan kembali suasana perjalanan yang begitu kaku karena peristiwa tadi. Akhirnya, kembali lagi tertawa lucu itu terdengar di telinga kami masing-masing. Karena sebuah topik. Pembicaraan para pria umumnya. Tak perlu dibahas disini rasanya.

Gurauan-gurauan membawa kami di sebuah pinggiran wisata. Tempat air terjun. Aku lupa namanya, kira-kira begini orang menyebutnya ‘Silaing’. Air terjun itu berada antara perbatasan daerah Padang Panjang dan Tanah Datar. Aku juga kurang tahu tepatnya. Kesalahanku tidak hanya tidak menulis tapi tidak bertanya. Bagaimana tidak, aku juga kurang tertarik dengan tempat itu begitu pun Ichsan, temanku. Turun dari motor saja enggan. Hanya memelankan lajunya motor ini. Lebih ingin cepat-cepat minum kopi ‘Kawa’.

Kami terus melanjutkan perjalanan. Dingin suasana pun menjadi sebuah sambutan yang luarbiasa bagiku. Aku menyukai suasana dingin. Paling gila lagi aku juga berharap Indonesia suatu saat akan turun salju. Ah, lupakanlah itu. Ceritaku masih panjang.

Jalanan sudah mulai berkelok-kelok, mobil-mobil besar sudah berlalu mendahului kami. Kencang sekali. Mengucapkan selamat tinggal dengan sombong. Anggapku saja. Jacket merah yang ku kenakan ini sudah menyelimuti tubuhku sebelum dingin menjajahi badan ini. Terselamatkan rasanya. Ichsan temanku, lebih santai dari ku. Ia tak menanggapi dinginnya suasana. Hal ini kuyakini karena ia sangat tenang membawakan kuda besinya. Percaya diri saja ia dengan baju kemeja yang lengannya dilipat sampai ke siku. Oh, ia juga lebih menyukai suasana seperti itu (dingin) dibandingkan Padang. Ceritanya. Tak jauh beda denganku.

Kembali lagi, perjalanan lanjut terus dengan hamparan taman-taman padi terjajari di pinggir jalan, warung-warung kecil, sampai penjual susu sapi murni kami lewati begitu saja. Tak sempat berhenti. Menyaksikan rasanya. Tak mau sebenarnya. Hanya buang waktu. Fokus tujuan. Lagi-lagi hanya karena kopi. Gila kopi. Sudah sampai Padang Panjang, kalau tidak salah saat itu. Tiba-tiba tanpa memberi aba-aba padaku. Seperti, kita telah sampai atau sudah dekat. Tak ada. Ichsan menepikan motornya otomatis aku pun juga ikut. Bingung. Jelas aku bingung. Kami berhenti di sebuah pondokan lesehan yang berkaki setengah meter dari tanah. Pondokan itu memiliki panjang 3 rumah minimalis kurang lebih yang menghadap jalan. Kebingungan ini hanya diam setelah ia menceritakan. Kita sudah sampai. Kami telah berada di tempat kopi yang telah ku sebut-sebut itu. Ah, tak terkejut sedikit pun aku. Tak tahu kenapa. Padahal ini pengalaman pertama.

Aku lepaskan sepatu dengan santai, tak tergesa. Begitu pun Ichsan. Dia sudah pernah kesini sepertinya. Ku naiki pelan-pelan pondokan dengan atap ikatan daun kelapa itu. Duduk di pinggir menghadap jalan, ichsan pun begitu. Santai tempatnya. Pemandangan belakang ku pun aku tengok.  Sawah, lagi-lagi sawah yang tertutupi bambu-bambu hijau yang lebat. Aku melihatnya samar-samar karena terhalangi. Dan itu seperti jurang namun tak dalam. Aku melihat pelepah bambu berjatuhan dan tergeletak di jurang yang ku sebut itu. Barang kali bambu itu harus mengorbankan ia untuk terus tumbuh tinggi menjulang.

Setelah coba beradaptasi dengan keadaan sekitar. Seorang perempuan berpakaian warna kuning, datang. Aku rasa iya pelayannya. Benar. Ia datang menawarkan keinginan kami ditempatnya. Bagai raja, Ichsan dengan yakin memesan dua kopi ‘Kawa’ dan sepiring ‘lamang’ atau bisa disebut ketan juga. Padahal iya belum berkompromi denganku. Tentang keinginanku. Aku tak tahu apakah iya membaca pikiranku saat itu. Ku iyakan. Aku memang ingin memesan yang sama dengannya. Bukan peniru. Perempuan itu tak menyebutkan terlebih dulu apa yang ada di pondokannya. Bagaimana aku bisa memilih. Aku pun juga tak bertanya.

Hanya beberapa menit. Perempuan itu kembali lagi di tempat kami bersantai bercengkrama. Aku dan Ichsan. Dari jauh aku juga tahu ia akan kemari. Aku lihat ia memegang piringan besar tak jelas kelihatannya terbuat dari apa. Di atasnya ada sebuah piring makan. Kelihatan juga ada separuh batok kelapa 2 buah. Ia tiba juga. Segera perempuan rambut panjang itu menjajahkan piringan dan separoh batok kelapa tadi ke lesehan kami. Ia pun pergi berlalu. Kerja kembali. Tak sempat mengucapkan selamat menikmati atau basa basi selayaknya. Aku pun tak berharap. Kalau Ichsan aku tak tahu apa yang ada di pikirannya tentang perempuan itu. Bisa jadi setelah membaca ini, iya akan beri keterangan.

Sudah tak kelihatan lagi perempuan itu. Aku pun lebih leluasa duduk bersandar di dinding kayu belakangku. Ichsan mengikuti. Saat itu aku melihat jam di handphone. Masih jam 11.30 wib. Kira-kira perjalanan santai ku bersama ichsan menghabiskan waktu 2 jam untuk sampai ke sini. Pondok Lamang ini. Ya, Pondok Lamang namanya. Dengan beralas anyaman bambu dan pesanan kami pun sudah terletak menung di atasnya. Aku senyum sedikit. Hanya sedikit pada batok kelapa yang dijajahkan perempuan tadi ternyata ia juga beralas potongan bambu bulat beridiameter 10 centimeter dengan tinggi 5 centi meter. Hmm, untuk menjaga keseimbangan kopi berbatok itu.

Filosofinya, yang ku rumuskan hanya seperti ini. Kopi merupakan minuman yang terasa pahit tapi komposisinya tak hanya serbuk kopi. Ada gula dan semacamnya yang dilarutkan bersama, hingga ia manis. Tepatnya bercampur, mendedikasikan sebuah rasa. Sama dengan kehidupan. Kesedihan dan kebahagiaan hidup. Atau akan lebih akrab, pahit manisnya kehidupan. Iya juga perlu wadah yang bersentuhan langsung dengan (air) kopi itu. Batok yang menjadi penampung air kopi itu, seperti manusia sendiri yang mengalami dan tak akan pernah seimbang dengan hal kebaikan dan keburukan. Kadang manusia akan tumpah berlarut-larut pada kesedihan atau kebahagiaan hidup (dunia) ini. Indahnya jika ia dipangku, seperti guna bambu (alas) batok tadi. Itu seperti sebuah keyakinan. Dengan keyakinan semuanya akan seimbang. Kita lebih bisa memaknai semua kesedihan dan kebahagian tersebut menjadi sebuah kebaikan untuk kehidupan ini. Semuanya tersusun rapi dan tak goyah.

Aku pun sampai lupa bagaimana menceritakan rasa kopi tersebut. Karena asik berkhotbah tentang pendapatku. Ketika ku angkat batok berisi kopi itu dengan kedua tanganku. Agar seimbang. Supaya tak jatuh. Bibirku pun basah. Tak sensual. Hanya penasaran dengan rasa kopi itu. Aku siap seruput pertama kopi itu. Rasanya...

*

Rasanya aku malas bercerita lebih jauh saat ini tentang perjalananku. Akan ku lanjutkan nanti ketika ada waktu senggang, kosong. Perjalanan aku dan ichsan masih berpindah ke suatu tempat yang menarik.

Jadi, rasanya... aku cukupkan saja sampai di sini.

Komentar

Postingan Populer